Sabtu, 11 Februari 2012

Javanese Mantra

MANTRA ORANG JAWA

(Salah Satu Wujud Budaya Jawa dalam Tinjauan Hiperrealitas)

Arif Hartarta, S. S., M. Hum

hartarta.arif@gmail.com

Abstrak

Mantra mengandung kata sugestif yang mampu membangkitkan etos, semangat, dan rasa percaya diri terhadap pemiliknya jika dilandasi kepercayaan penuh. Mantra merupakan salah satu wuju kebudayaan yang ada di Nusantara. Perkembangan zaman tidak benar-benar menghapus tradisi mantra. Mantra tetap ada di masyarakat, hanya saja mantra telah berevolusi (tata cara/patrab, bahasa, ritual/laku, sesaji/uba rampe dll) menyesuaikan diri dengan zaman. Beberapa isi syair-syair mantra tertentu menyimpan informasi budaya, seperti informasi spiritual, kejadian mitologis, dan pengobatan.

Kata kunci : mantra, sakral, Sang Lain.

A. Pendahuluan

Mantra masih menjadi sesuatu yang dianggap sakral oleh sebagian masyarakat Jawa. ‘Yang Sakral’ merupakan poros utama dinamika masyarakat. Dalam masyarakat selalu ada nilai-nilai yang dikeramatkankan atau disucikan. Yang sakral itu bisa berupa simbol utama, nilai-nilai, dan kepercayaan yang menjadi inti sebuah masyarakat. ‘Yang sakral’ ini juga bisa menjelma menjadi ideologi-ideologi atau yang lain yang menjadi utopia masyarakat. Pada awalnya mantra merupakan bagian dari konsep ‘yang sakral’ tersebut. Namun dalam perkembangannya mantra menjadi sebuah produk yang telah mengalami rekayasa guna dan memiliki bagian di sisi lain dari ‘yang sakral’, yaitu ruang profane. Mantra merupakan produk postmodern karena konsep postmo sendiri adalah mencoba menyoroti apa yang tidak dapat dipresentasikan itu sendiri. Postmodern memang dapat didefinisikan sebagai ‘apa yang, dalam bahasa modern mengemukakan apa yang tidak dapat dipresentasikan dalam presentasi itu sendiri, dan mencari presentasi-presentasi baru dengan tujuan menanamkan kesan yang kuat terhadap apa yang tidak dapat dipresentasikan’. Secara esensial mantra masih menjadi bagian dari yang sakral dengan bukti adanya beberapa orang pintar yang menyebarkan mantra secara rahasia, namun secara eksistensial mantra merupakan bagian dari yang profane pula dengan bukti adanya marketing mantra di semua media. Mengapa mantra melirik dan masuk ke dunia media (cetak, elektronik)? Fenomena inilah yang memposisikan mantra menjadi produk postmodern.

Mantra yang masih dianggap sebagai media pengikat yang bersifat mitis religius, tidak ubahnya seperti fenomena atomik. Mantra akan menjadi api apabila dikumpulkan dengan api, namun mantra juga akan menjadi angin apabila dikumpulkan dengan angin. Argumen tersebut berpijak pada pengamatan bahwa mantra menjadi salah satu dari ‘Yang Sakral’ yang sengaja diproduksi oleh masyarakatnya, dan ‘yang sakral’ itu adalah masyarakat itu sendiri. Mantra bisa bertahan karena ia mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Menurut teori antropologi dikatakan bahwa yang mampu bertahan bukanlah yang terkuat dan terbesar, yang mampu bertahan adalah yang bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan jaman.

B. ‘Sang Lain’

Dalam tradisi filosofis fenomenologi dan eksistensialisme, ‘Sang Lain’ adalah faktor yang memungkinkan subjek membangun citra diri. Sang Lain merupakan orang atau kelompok yang memberi makna pada subjek dengan menolongnya atau memaksanya mengadopsi sebuah pandangan dunia tertentu dan mendefinisikan posisinya menurut pandangan dunia tersebut. Lebih lanjut, konsep tentang ‘Sang Lain digunakan untuk meletakkan persepsi dan pengetahuan melampaui perspektif individu yang terbatas.

Kaitannya dengan mantra adalah bahwa untuk beberapa saat lamanya kekuatan yang disugestikan mantra menjadi ‘Sang Lain’, artinya keluar dari kebenaran-kebenaran umum. Bagi beberapa suku bangsa di Indonesia, hal tersebut masih dianggap sebagai sesuatu hal yang luar biasa. Artinya bahwa penguasa mantra-mantra sakti itu justru harus diberikan tempat berkiprah yang lebih luas, karena apa yang ia perbuat walaupun telah melanggar aturan-aturan yang ada tidak dianggap sebagai suatu penyimpangan (lihat The Master, RCTI: Linbad). Mantra benar-benar menjadi “Sang Lain bukan hanya bagi masyarakat penonton, bahkan mantra akan menjadi “Sang Lain bagi pengamalnya. Sebagai contoh adalah seseorang yang memiliki ajian kebal bacok. Ketika seseorang sedang menghadapi marabahaya, ia segera membaca mantra anti bacok, dan di luar rasio, kulit dan tulang manusia yang mengamalkan mantra tersebut benar-benar sekeras baja. Untuk sesaat waktu, si pengamalpun akan merasa keheranan. Untuk selanjutnya, bila terjadi hal yang sama, mantra itu akan dibaca lagi, si pengamal akan ‘memanggil’ kekuatan yang ada dalam mantra tersebut. ‘Memanggil’ dalam konteks ini telah menunjukkan bahwa mantra menjadi ‘yang lain’ bagi si pengamal. Sebagai contoh adalah teks mantra “kidung Mantrayoga” berikut:

Pan napasku Nabi Ngisa luwih

Nabi Yakub pamiyarsaningwang

Dawud swaraku mangke

Nabi Brahim nyawaku

Nabi Sleman kasekten mami

Nabi Yusub rupeng wang

Edris ing rambutku

Baginda Ngali kulit wang

Abubakar getih, daging Ngumar Singgih

Balung baginda Ngusman

(R. Tanoyo: Kidungan)

Melihat teks mantra di atas, jelas menunjukkan bahwa teks itu sendiri telah menunjukkan sebuah metafora yang bersifat apostrof, yaitu mencoba menghadirkan sesuatu yang tidak tampak/abstrak. Reification sendiri sangat berhubungan erat dengan utopia. Konsep Jawa mengenal beberapa ungkapan seperti: (1) sabda brahmana raja (sabda para pendeta dan raja), (2) apa kang cinipta ana, kang sinedya teka, kang kaesti dadi (yang difikirkan melalui daya cipta menjadi ada, yang diharapkan datang, yang sungguh-sungguh difikirkan menjadi kenyataan), (3) senengane nganakake sing ora ana/ senengane sing ora-ora (suka mengatakan, berbuat yang seharusnya semestinya tidak ada, tidak dilakukan.

Konsep di atas merupakan impian-impian dari dunia bawah sadar atau nalar puitis untuk menyatakan sesuatu yang abstrak menjadi nyata. Pemantra di atas mencoba membuat simulasi makuk-makluk langit (malaikat, nabi) melebur dalam diri si pemantra agar si pemantra menjadi manusia super. Ide tentang manusia super telah dideklarasikan oleh Nietzsche sekitar akhir abad 18 dalam Zarathustra yang menyatakan bahwa: ”kuasakah engkau menciptakan Tuhan? – maka diamlah wahai segala tuhan! Tapi, yang pasti engkau dapat menciptakan Superman”. Superman diciptakan dengan mengkloning sifat-sifat Tuhan sendiri. Siapakah makhluk yang memiliki sebagian dari kesempurnaan sifat Tuhan kecuali nabi dan malaikatnya. Keberhasilan yang disebabkan oleh ”Sang Lain” merupakan keberhasilan karena bertapa (belajar, meditasi, puasa) atau kekuatan yang timbul karena penderitaan yang berkepanjangan (patos).

C. Eksistensi Mantra

Era modern dengan kemajuan teknologi yang semakin menggila ini, ternyata masih menyisakan ruang bagi tradisi lisan khususnya mantra untuk bernafas. Namun pada kenyataan beberapa waktu lampau, tradisi lisan hanya mampu berkembang di pelosok-pelosok desa. Kebingungan manusia untuk membedakan antara tradisi dan modern, akhirnya menuntut manusia untuk menggabungkan atau mengkolaborasikan antara yang dianggap tradisi dan yang dianggap modern sedemikian rupa, sehingga bentuk dan nilai tradisi kembali menghiasi aktifitas kehidupan di era modern.

Dalam kehidupan masyarakat modern, tidak jarang mantra menunjukkan keberadaannya pada situasi-situasi tertentu. Orang Jawa sering mengatakan “kalamun kapengkoking pancabaya, baya ubayane ora mbalenjani”, jadi tidak sedikit pula orang-orang Jawa tua-muda membawa sangu untuk menghadapi bahaya atau keadaan lain yang tak terduga, khususnya adalah orang Jawa yang merantau ke luar Jawa. Kesulitan dan kepenatan berbagai permasalahan hidup di zaman modern ini, oleh sebagian masyarakat Jawa khususnya, mantra dipercaya dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai berbagai keinginannya. Yang menarik, mantra menunjukkan keberadaannya yakni mampu mengatasi berbagai permasalahan seperti rumah tangga, percintaan, ketenagakerjaan, kesehatan, hukum adat (warisan), karier pekerjaan, pertanian, tolak balak, tumbal, dan perdagangan. Pernyataan ini didukung adanya mantra untuk hal-hal tersebut di atas. Sebagai contoh mantra yang masih eksis, penulis paparkan mantra keselamatan:

Niat Ingsun mateg ajiku Bandung Bandawasa

Karosanku kaya wong sewu

Sayuta ing ngarsa

Sekethi ing mburi

Sewu bareng maju

Satus bareng ambyus

Mantra di atas tergolong mantra yang laris. Setiap tahun, paranormal penguasa mantra di atas selalu didatangi murid atau tamu untuk meminta diajari mantra tersebut. Mantra tersebut dikonsumsi oleh pemuda desa yang akan bekerja di luar daerah sebagai piandel atau sesuatu yang bisa diandalkan apabila menemui marabahaya. Reification selalu dinyatakan terlebih dahulu di dalam teks mantra itu untuk kemudian menjadi daya sugesti dan muncul kekuatan yang diharapkan. Pertanyaan dan pernyataan yang sebenarnya selalu bersifat tautologi adalah apakah mantra-mantra yang ada atau beredar di masyarakat termasuk dalam seni berperadaban tinggi atau rendah? Semua bisa benar, karena sesuatu hal itu ‘dibenarkan’ karena tindakannya (alasannya). Keyakinan dalam hal apapun mampu membutakan diri terhadap kebenaran. Keyakinan adalah opium, candu bagi masyarakat. Pencerahan harus dicapai dengan jalan belajar tanpa henti, karena filosofi hidup adalah memulung, memulung ilmu pengetahuan. Belajar dan pendidikan merupakan ciri sebuah peradaban yang maju.

Mudji Sutrisno mengatakan bahwa peradaban akan runtuh apabila gagal memunculkan kreativitas dalam menghadapi tantangan. Puncak keruntuhan terjadi bila ada disintergrasi peradaban di mana kesatuan sosial pecah dan ketidakmampuan kebudayaan itu memberi tanggapan kreatif pada tantangan jaman (2005:70). Katakanlah bahwa mantra merupakan salah satu produk dari peradaban tertentu. Apabila mantra dilihat dari teori Mudji di atas, dapat dikatakan bahwa mantra mampu menciptakan kreativitas dalam menghadapi tantangan. Mantra tidak segan-segan bersaing dengan produk-produk teknologi yang semakin canggih.

Dilihat dari tanggapan masyarakat penghayat terhadap keberadaan mantra, menganggap bahwa adanya mantra merupakan sebuah kesepakatan agung dari berlangsungnya ‘sejarah mitos’. Di dalam lingkungan kehidupan tradisi Jawa, mantra dikenal pula dengan sebutan Japa, Japamantra, Kemat, Jawab, Timbul, Suwuk, Peled, Aji-Aji, Rajah, Donga, dan Sidikara. Setidaknya ada 28 fungsi mantra Jawa dan 3 macam wujud. Semua dianggap memiliki kekuatan gaibnya sendiri-sendiri. Ada mantra yang dilafalkan, dibaca dengan bersuara disebut di-mel-kan, sedangkan mantra yang dibaca dalam hati disebut mateg mantra atau mateg aji. Keduanya sangat bergantung dari kebutuhan, keadaan, target sasaran, dan tuntunan sang dhukun, kyai, pawang, sesepuh, atau guru yang memberikan mantra. Orang Jawa juga mengenal istilah “jawab”, atau sering kita dengar kata-kata “wong jawa sing penting jawabe utawa tembunge”. Istilah ini dalam terjemahan bahasa Indonesia kurang lebih “bagi orang Jawa yang terpenting adalah kata-katanya. Jawab disini bukan bermakna sahut; balasan, melainkan jawab dalam makna “nembung” atau minta secara baik-baik yang ditujukan kepada penguasa tempat-tempat tertentu yang dianggap angker (Jw: wingit). Harapan-harapan yang diimpikan oleh masyarakat selalu di wujudkan dengan kata-kata doa atau mantra.

Pada kenyataanya, keberadaan mantra saat ini telah lepas dari relnya. Artinya, mantra dikenal oleh masyarakat awam atau umum dalam batas-batas pengertian secara negatif. Banyaknya media elektronik, media cetak yang menayangkan dan mengekspose tayangan-tayangan mitos, dunia lain, gentayangan, penampakan, dan praktek-praktek bisnis paranormal membuat posisi mantra dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat rendah, seperti ilmu hitam, pesugihan, santet, pelet, tenung, sihir dll. Pengertian ini jelas bertolak belakang dengan pengertian mantra menurut etimologi bahasa Saskerta yang mengatakan bahwa istilah mantra berasal dari kata man/manas ‘berpikir/pikiran’ dan tra/tri ‘melindungi’. Jadi mantra bersifat melindungi pikiran manusia dari nafsu-nafsu rendah duniawi. Mantra diucapkan, dilafalkan, dimelkan, diwateg sesuai dengan kebutuhan dan manfaatnya. Efisiensi dan efek-efek yang diakibatkan dari sebab mengamalkan mantra amat bergantung pada pengalaman dan penghayatan masing-masing pengamal. Esistensi mantra sesungguhnya adalah melebur dengan kekuatan tertinggi dengan jalan menyeimbangkan mikrokosmos dengan makrokosmos.

Faktor-faktor penopang eksistensi mantra sebenarnya adalah kebutuhan keinginan masyarakat itu sendiri. Ketika yang rasional dan agama dianggap sudah tidak mampu lagi memberi jawaban dan solusi akan masalah kompleks yang dihadapi oleh individu maupun kelompok masyarakat, maka mantra menjadi alternatif pilihan. Manusia mulai berharap kepada pertolongan dari sang Lain yang ada di dalam mantra. Contoh kasus adalah ketika ada seorang yang menganggap dirinya bernasib sial dalam mencari rejeki, maka dalam kondisi terjepit keadaan, ia akan mencari jalan lain, yaitu dengan mengamalkan mantra pendatang rejeki. Kasus lain lagi adalah para pedagang, di mana mereka akan selalu berusaha agar dagangan mereka selalu laku keras, dan yang dilakukan untuk mencapai hal itu adalah mencari dan mengamalkan mantra penglarisan.

Selain faktor sosial di atas, faktor lain yang menopang eksistensi mantra adalah: (1) masih banyak ditemukan orang pintar yang memiliki dan menyebarkan mantra kepada masyarakat, (2) masyarakat masih membutuhkan hal-hal semacam untuk mencoba keluar dari masalah yang dihadapi, (3) mantra dianggap sebagai salah satu warisan leluhur yang perlu dilestarikan, dan (4) adanya fatwa sepihak yang menyatakan bahwa selagi mantra tidak digunakan sebagai bentuk penyelewengan, artinya tidak keluar dari batas-batas nilai dan norma, maka mantra itu hukumnya halal.

Masyarakat particular penghayat mantra adalah bagian dari bangsa Indonesia pula. Oleh karena banyaknya penganut aliran kebatinan/penghayat, pemerintah membuat lembaga yang mewadahinya yaitu BAKOR PAKEM (Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat) yang pada akhir-akhir ini belum berfungsi secara maksimal. Bangsa dalam arti yang sebenar-benarnya adalah build structur yang dibangun oleh unsur-unsur, dan anazir atau komponen yang begitu plural atau majemuk. Salah satu anazir pembangunnya adalah komunitas-komunitas yang ’dianggap’ abstrak, namun mereka inilah yang berpotensi menentukan tegak dan doyong-nya kekuatan negara. Mereka inilah yang dimaksud dengan ”Komunitas Terbayang”. Bangsa mengisi kehadirannya sendiri dalam suatu proyek yang dikerjakannya sediri (Anderson, 2001).

D. Simpulan

Mantra menawarkan janji sugestive terhadap calon pengguna. Mantra mampu bertahan manjadi produk konsomtif karena mantra dianggap mampu melampaui yang rasional, meskipun diskursus yang ada bahwa kebenaran-kebenaran empiris dalam pengamalan mantra adalah bersifat intersubjektif (percaya atau tidak percaya).

Manusia adalah makhluk yang pada akhirnya kerepotan menghadapi ide yang diciptakannya sendiri. Geertz mengatakan bahwa manusia adalah binatang-binatang yang diselimuti jaringan-jaringan makna yang dirajutnya sendiri (2000:5). Apabila dilihat dengan kaca mata teori konflik, saat ini hal-hal yang berkaitan dengan mantra menjadi ajang peperangan antar individu ataupun kelompok untuk mencapai tujuanya, yakni menguasai pihak lain. Sebagai contoh adalah kasus pemilihan Kades hingga Gubernur atau bahkan Presiden. Masyarakat mengeluarkan pernyataan bahwa para pejabat selalu memiliki backing supranatural. Hal ini menyiratkan ketakutan masyarakat terhadap kebenaran mitis. Ketika hal yang lain tidak mampu menjawab keinginan manusia, mantra menawarkan diri menjadi solusinya. Itulah sebabnya apabila mantra selalu memiliki porsi sebagai pilihan masyarakat.

Bibiliografi

Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Arif Hartarta. 2010. Mantra Pengasihan: Rahasia Asmara dalam Klenik Jawa. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Bernand Raho, SVD. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti Press.

Dick Hartoko. 1979. Bianglala Sastra; Bunga Rampai Sastra Belanda Tentang Kehidupan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Geertz, Clifford. 2000. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Palmer, Richard E. 2005. Hermeunitika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Prabhupada, A.C. Bhaktivedanta Swami 1997. SRIMAD BHAGAVATAM: Second Canto – Part Two The Cosmic Manifestation. Singapore: Book Trust.

S. Padmosoekotjo. 1960. Ngengrengan Kasusastran Jawa Jilid II. Yogyakarta: Hien Ho Sing.

Sri Mulyono. 1983. Sebuah Tinjauan Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta: Gunung Agung.

Strinati, Dominic. 2004. Popular Cultur: Pengantar Menuju Teori Budaya (terjemahan Abdul mukhid). Yogyakarta: Bentang.

Tjetje Jusuf. 1984. KACA DAN DEWAYANI: DONGENG-DONGENG INDIA. Jakarta: Pustaka Jaya.

Yasraf Amir Piliang. 2003. HIPERSEMIOTIKA: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.